Cermin adalah sebuah benda refleksi diri yang seringkali kita gunakan untuk menampilkan bagaimanakah penampilan kita saat ini. Cermin sendiri diketemukan di Anatolia (kini Turki) dalam bentuk batuan mengkilap yang digosok sehingga mampu memantulkan bayangan dari dalam dirinya. Di era modern saat ini cermin di buat dengan beberapa macam bahan pelapis dengan kaca sebagai bahan utamanya. Keberadaan cermin pada saat ini sangat dibutuhkan, karena manusia hampir tidak pernah bisa lepas darinya. Berdiri dihadapan sebuah cermin untuk mengamati setiap kelebihan dan kekurangan dalam diri kita dan cermin seakan mulai bercerita lewat sebuah tampilan tentang objek yang saat ini berada didepannya. Kita pun merasa puas dengan penjelasan cermin tanpa bertanya kenapa ia memantulkan keberadaan kita seperti itu. Namun apakah yang ditampilkan oleh sebuah cermin sudah menunjukkan keberadaan diri kita yang sebenarnya ?
Cermin hanya bisa bercerita lewat sebagian gambaran yang terbalik. Kiri menjadi kanan, begitu juga sebaliknya. Namun manusia tidak pernah merasa dibohongi karena itulah kejujuran cermin yang harus kita terima. Simbolisasi sebuah cermin telah banyak memenuhi budaya dan sejarah manusia. Dongeng Putri salju dan Ibu Ratu juga melibatkan sebuah benda yang bernama cermin. Shakespeare juga pernah mencoba merefleksikan pesan kejujuran sebuah cermin dalam cerita Julius Caesar. “Wahai Brutus, bercerminlah, kau seperti diriku dalam cermin, dan engkau pun akan tahu secara jujur apa kata cermin tentang dirimu”. Ternyata adanya, Brutus harus jujur bahwa dirinya sedang dalam iri dengki terhadap Caesar, cerminnya sendiri. Ternyata cermin juga selalu jujur, tidak hanya pandai bercerita.
Baru2 ini, anggota DPR yang akan pensiun juga mendapat hadiah cermin sebagai sebuah simbolisasi. Jangan salahkan sebuah cermin jika ia menampilkan sesuatu yang terbalik dalam diri kita, karena memang seperti itulah keadaan cara berpikir kita sesungguhnya. Kita pasti akan sangat marah dan jengkel jika ada cermin yang menampilkan keberadaan diri kita seperti yang sesungguhnya. Sebuah keberadaan buruk yang dengan sangat rapi kita simpan. Kita tidak akan pernah sadar hingga akhirnya cermin itu retak dan pecah dan memaksa ia menampilkan bayangan diri kita yang semakin tidak berbentuk lewat kepingan-kepingan dirinya. Gambaran akan kecantikan, ketampanan, kerapian, kegagahan, kemewahan akan terlihat sangat berbeda nantinya.
Kita membutuhkan sebuah pikiran yang terbalik agar lebih memahami keterbalikan yang ditampilkan cermin terhadap keberadaan diri kita. Jangan paksa cermin untuk merubah tampilannya karena memang seperti itulah ia apa adanya. Justru kitalah yang harus berubah agar cermin itu tidak terus merasa tertekan dengan apa yang ia tampilkan karena kesalahan pola pikir kita terhadap dirinya. Dunia bisa lebih nyaman jika setiap kita mampu merubah cara berpikir kita terhadap apa yang diperlihatkan cermin untuk kita. Dalam cerita Putri Salju, kita bisa melihat bahwa cermin tidak bisa menghargai Ibu Ratu karena Ibu Ratu tidak memiliki hati seperti Putri Salju yang memperlakukan cermin sebagai sebuah objek yang ingin dihargai dengan sebuah penerimaan yang tulus terhadap apa yang ia tampilkan.
Cermin hanya bisa bercerita lewat sebagian gambaran yang terbalik. Kiri menjadi kanan, begitu juga sebaliknya. Namun manusia tidak pernah merasa dibohongi karena itulah kejujuran cermin yang harus kita terima. Simbolisasi sebuah cermin telah banyak memenuhi budaya dan sejarah manusia. Dongeng Putri salju dan Ibu Ratu juga melibatkan sebuah benda yang bernama cermin. Shakespeare juga pernah mencoba merefleksikan pesan kejujuran sebuah cermin dalam cerita Julius Caesar. “Wahai Brutus, bercerminlah, kau seperti diriku dalam cermin, dan engkau pun akan tahu secara jujur apa kata cermin tentang dirimu”. Ternyata adanya, Brutus harus jujur bahwa dirinya sedang dalam iri dengki terhadap Caesar, cerminnya sendiri. Ternyata cermin juga selalu jujur, tidak hanya pandai bercerita.
Baru2 ini, anggota DPR yang akan pensiun juga mendapat hadiah cermin sebagai sebuah simbolisasi. Jangan salahkan sebuah cermin jika ia menampilkan sesuatu yang terbalik dalam diri kita, karena memang seperti itulah keadaan cara berpikir kita sesungguhnya. Kita pasti akan sangat marah dan jengkel jika ada cermin yang menampilkan keberadaan diri kita seperti yang sesungguhnya. Sebuah keberadaan buruk yang dengan sangat rapi kita simpan. Kita tidak akan pernah sadar hingga akhirnya cermin itu retak dan pecah dan memaksa ia menampilkan bayangan diri kita yang semakin tidak berbentuk lewat kepingan-kepingan dirinya. Gambaran akan kecantikan, ketampanan, kerapian, kegagahan, kemewahan akan terlihat sangat berbeda nantinya.
Kita membutuhkan sebuah pikiran yang terbalik agar lebih memahami keterbalikan yang ditampilkan cermin terhadap keberadaan diri kita. Jangan paksa cermin untuk merubah tampilannya karena memang seperti itulah ia apa adanya. Justru kitalah yang harus berubah agar cermin itu tidak terus merasa tertekan dengan apa yang ia tampilkan karena kesalahan pola pikir kita terhadap dirinya. Dunia bisa lebih nyaman jika setiap kita mampu merubah cara berpikir kita terhadap apa yang diperlihatkan cermin untuk kita. Dalam cerita Putri Salju, kita bisa melihat bahwa cermin tidak bisa menghargai Ibu Ratu karena Ibu Ratu tidak memiliki hati seperti Putri Salju yang memperlakukan cermin sebagai sebuah objek yang ingin dihargai dengan sebuah penerimaan yang tulus terhadap apa yang ia tampilkan.
No comments:
Post a Comment